Asal Mula Bahasa Indonesia dari segi bahasa yang digunakan
Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, sebuah Bahasa Austronesia yang digunakan sebagai
lingua franca
di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern,
paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini
sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur
sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan
sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa.
Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh
sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar
mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya
dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan
penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka.
Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang
yang melewati Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca
(bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang
menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa
daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak
memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas
pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau
dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
- Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di
Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan
puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
- Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari
dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus,
biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi
usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya
Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
- Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak,
atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi),
ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari
Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut
oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang
paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien,
Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
- Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia.
Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih
dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris.
Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei,
dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme
negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu
lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini
dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.
Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi
(dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga
diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan peristiwa-peristiwa penting
Perinciannya sebagai berikut:
- Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
- Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit
buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur
(Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah
menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel
seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok
tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu
penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
- Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling
menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal
itulah para pemuda pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk
perjalanan bahasa Indonesia.
- Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan
sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang
dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.
- Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa
usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan
secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
- Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
- Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik
(Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang
berlaku sebelumnya.
- Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2
November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk
terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan prasasti-prasasti
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari
pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang
merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara.
Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa
Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama
prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2) Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota Kapur (686 Masehi),
(4) Karang Brahi (686 Masehi),
(5) Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942 Masehi), dan
(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya
merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di
Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap
prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
- Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka,
menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun
atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan
kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan
berbagai doa untuk keselamatn raja.
- Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di
Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama,
yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan
Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang
memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi
mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa
disimpulkan bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan
sebagai
lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa
resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I
Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa
Melayu (diistilahkan
Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).
Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan catatan-catatan penting
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan
yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu.
Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa
Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen,
pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara
menjumpai adanya berbagai
lingua franca yang mereka namai
Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara
Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam
Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia,
Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara Pemerintah Inggris dan
Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada
traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
(1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan
(2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera,
Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil:
pulau-pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor , dan
lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan
kolonial Belanda.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu
01.Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat
disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti
berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
- Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
- Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut
sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London
1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:
(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
(c) di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;
(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif
cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu
pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para
saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan
mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam
bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya
maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy,
1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat
manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya.
Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan.
Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide,
seorang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan
Sriwijaya pada era itu:
The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th
ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally
Malayan in might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion.
The empire was so named after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra . At the
height of its power under the Shailendra dynasty, it included Malaya ,
Ceylon , Borneo, Celebes, the Philippines , and part of Formosa , and
probaly exercised sovereignty over Cambodia and Champa ( Annam ). (Zaide, 1950: 36)
Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi
Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang
dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan
tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu
dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau
lingua franca Kw’en Lun.
Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah
mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai
inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra.
Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang
muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang
dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang
berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan
Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya,
sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu
periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan
Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini
sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia .
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa
yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai
lingua franca tidak
hanya menmbantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga
menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”,
melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan
Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang
pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama
Bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi.
Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa Bahasa Melayu
yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur
Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah
kolonial Belanda mengangkat Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua
mendampingi Bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan Bahasa
Melayu sebagai
lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulis di dalam bukunya
Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa
Bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur,
dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam
keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak mengerti
Bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 393).
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul
Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang
bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa Bahasa Melayu telah
terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan
lingua franca yang
penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa
Belanda dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah
dan skenario kota pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya
adalah:
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di
pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di
negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh
setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di
Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh
karena banyaknya bahasa ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur
dalam bahasaMelatu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia
maupun Filipina.”
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan
memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak
Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh
Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota , sekali lagi, harus dipindahkan
lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya . Daerah-daerah tempat perpindahan
ini masih termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu
sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara
tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada
catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran
Bahasa Melayu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah Bahasa
Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan Bahasa
Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa Bahasa Melayu era
Kerajaan Sriwijaya adalah semacam Bahasa Melayu kuno seperti yang
ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi.
Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu
kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu
Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua
bahasa itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih
apabila diingat asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan
perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi bahwa ada
hubungan antara Bahasa Melayu kuno dan Bahasa Melayu era Kerajaan
Sriwijaya benar adanya.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara
bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan Bahasa Melayu dari sub-era
Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa Bahasa Melayu era
Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena
sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era
Kerajaan Sriwijaya itu sebagai
bahasa Melayu Kuno. Sementara
itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau
sama sekali tidak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta dan memiliki ciri
khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut
“Bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini,
seperti diuraikan berikut ini.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit
menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan
ke Malaka di Semenanjung Malaya . Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa
dari Tumasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa
Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru
Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang
berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran
yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia
Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina
Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan
pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama
Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam.
Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut:
“Perlak and Pasai in North Sumatra were the first Malay Centers
for the propagation of the Muhammadan faith and culture. At Pasai, in
1407 was buried Abdul’llah ibn Muhammad ibn Abdul’l-Kadir ibn
Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir, a
missionary from Delhi of the house of the Abbasides who furnished
Caliphs from the time of Prophet till it was destroyed by the Turks in
1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself.”
Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu
perkembangan dan penyebaran Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama
Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab
para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu,
mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa
Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka
yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat
perkembangan dan penyebaran Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama
Islam pindah ke Johor.
Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran
agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran
bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan
bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja,
melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan.
Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir
dan besar di India telah menguasai Bahasa Melayu dengan baik ketika ia
tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin apabila Bahasa Melayu
telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam
Fishman, 1974: 394).
Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16.
Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran
Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama,
St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk
Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa
Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan
kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan
Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam
hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam.
Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu
yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk Bahasa Melayu Malaka.
Di Malaka, nama Bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi
unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut
sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum
penaklukan Portugis sangat berbeda dengan Bahasa Melayu Malaka setelah
Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahankan
ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan
agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu
dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh
ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam
penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan
Asia Tenggara.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa
memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu
pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan
permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa
Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah
bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau
inilah yang merupakan
cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika
didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu
dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan
ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi
perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808,
ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji
menyelesaikan bukunya yang berjudul
Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan
Mathba’atul Riauwiyah atau
Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian percetakan
Mathba’atul Riauwiyah ini sangat
penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang
diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan
Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau
sudah dimulai.
Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa,
yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun,
selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara
dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah Perancis di
Kepulauan Nusantara.
Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa dan Pulau
Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang
ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau
Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas
kerajaan Tumasik pada tahun 1819.
Orang-orang Belanda datang pertama kali ke Indonesia bertujuan untuk
berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie) untuk
melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia selama hampir 200
tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan
menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah Indonensia
dengan memperoleh nama baru
Nederlandsche Oost-Indie (India Belanda).
Disinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan
kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan
Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat
perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan
oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan
British East India, yang
pada saat itu masih beroperasi di anak Benua India, mulai meluaskan
daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Maka muncul konflik kepentingan
di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris, Belanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara
Inggris dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antara kedua
kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara
menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di
kawasan itu, yaitu
bahasa Melayu Johor dan
bahasa Melayu Riau.
Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang
Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stanford Raffles, ketika dia menjadi
Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial
Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang
bergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan,
Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus
karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa
mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri
konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara.
Persetujuan itu terkenal dengan nama
London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang
membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan
Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung
Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan
demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya
menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu
pula, perpisahan bahasa Melayu Riau dan Bahasa Melayu Johor secara
legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan Bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau
dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan
sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan
sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakunya Persetujuan
London atau Traktat London, Bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang
baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup
tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli Bahasa Melayu Riau
diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan
bukunya yang berjudul
Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa
normatif bahasa Melayu Riau. Buku tata-bahasa ini selama berpuluh-puluh
tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan
Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan
Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan
lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap
sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan,
pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh
ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang
pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut
sebagai
bahasa Melayu Tinggi.
02.Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan
Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin
nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura
berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi Bahasa Melayu Riau
di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang
mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, Bahasa Melayu
yang sejak dulu menjadi
lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki
norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
- Tahun 1865, bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial
Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda.
Pranan ke-lingua franca-an Bahasa Melayu semakin nyata dan penting.
- Tahun 1901, Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang
berisi sistem ejaan Bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang
bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan Huruf Arab
(bahasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem
ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih
sesuai dengan Bahasa Melayu.
- Tahun 1918, Bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status Bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
- Tahun 1920, Bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku
hasil penerbitan Balai Pustaka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran
bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar
di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di
samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan
Indonesia.
- Pada tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.
- Pada tahun 1933, Bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pengarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
- Pada tahun 1938, Kongres Bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres
ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah Bahasa Indonesia
dan bukan bahasa Melayu lagi.
- Tahun 1942 – 1945, Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara
Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua
jenjang pendidikan.
- Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia
diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal …
ayat … UUD 1945 memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional
dan resmi negara.” Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan
‘45.
- Tahun 1954, Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
- Tahun 1972, antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai
persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya.
Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
- Pada tanggal 16 Agustus 1972, diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia.
Kenyataan ini menjadikan Bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.
- Pada tanggal 30 Agustus 1975, diumumkan pula pemberlakukan tatacara
pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin
memperkuat MABIM sehingga Negara Brunai Darussalam dan Republik
Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.
- Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara
teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993
menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa
negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek).
- Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura
semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar Bahasa Melayu menjadi bahasa
komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan
menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan
Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di
Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di
antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial
Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu Bahasa Melayu, Bahasa
Mandarin, Bahasa Tamil, dan Bahasa Inggris. Keempat bahasa itu
dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan.
Umumnya, Bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa
pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai
dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956.
Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang
mencakup Serawak dan Sabah
(North Borneo), yang merdeka dan
berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai,
bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai
bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan
yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini Bahasa Melayu, baik
yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, Bahasa Melayu di
Malaysia, bahasa … di Brunei, dan bahasa … di Singapura, tetap
berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara
efektif. Bahkan, secara
de facto telah berperan sebagai bahasa
komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari
internasional (lewat PBB) bahwa Bahasa Melayu merupakan salah satu
bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau
dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara
de jure Bahasa Melayu semakin mantap.
sumber:
http://wyoeholic.wordpress.com